Tujuan
Ekonomi
Indonesia
memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting.
Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang
pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia
yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset
sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset
perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
Masa
Pasca Kemerdekaan (1945-1950)[sunting]
Keadaan
ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan
oleh :
Inflasi
yang sangat tinggi
Disebabkan
karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada saat
itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di masyarakat sebesar 4 milyar.
Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa saja, diperkirakan sebesar 1,6
milyar. Jumlah itu kemudian bertambah ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki
beberapa kota besar di Indonesia dan menguasai bank-bank.
Dari
bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3 milyar untuk
keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling menderita akibat
inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada zaman pendudukan Jepang
petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan mata-uang Jepang. Pada
waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang
berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah
Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret
1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu)
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada
bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI
(Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori
moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat
harga.
Pada
saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, tanggal 6 Maret 1946,
Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan
berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang diduduki Sekutu. Uang NICA ini
dimaksudkan sebagai pengganti uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun.
Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir memproses tindakan tersebut. Karena
hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar persetujuan yang telah disepakati,
yakni selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak
akan ada mata uang baru.
Oleh
karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah RI, juga melakukan hal yang
sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI)
sebagai pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan
bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia pada
tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang
didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank
negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.
Adanya
blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negri RI.
Blokade
laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu keluar-masuk
perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan blokade ini adalah:
Untuk
mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia;
Mencegah
dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya;
Melindungi
bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan
Indonesia.
Kas
negara kosong.
Eksploitasi
besar-besaran di masa penjajahan.
Tanah
pertanian rusak
Tenaga
kerja dijadikan romusha
Tanah
pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
Upaya
menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan
kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di
Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi
ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi
dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Pada
tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi yang
bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga
tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat
menghasilkan rencana produksi lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan,
yang isinya
Memperbanyak
kebun bibit dan padi unggul
Pencegahan
penyembelihan hewan pertanian
Penanaman
kembali tanah kosong
Pemindahan
penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu
1-15 tahun.
Demokrasi
Terpimpin[sunting]
Kehidupan
ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan
yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi
ekonomi adalah sebagai berikut.
Gunting
Syafruddin[sunting]
Kebijakan
ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang
bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini
dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan
RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri
Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit
anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya
rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya
orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat
mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari
pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
Sistem
Ekonomi Gerakan Benteng[sunting]
Sistem
ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk
mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet
Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan).
Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur
ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
Menumbuhkan
kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para
pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para
pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan
kredit.
Para
pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan
Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng
dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700
perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi
tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan
pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para
pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam
kerangka sistem ekonomi liberal.
Para
pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para
pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para
pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para
pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup
mewah.
Para
pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari
kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya
adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit
anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit
anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan
Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang
nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha
pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume
impor.
Nasionalisasi
De Javasche Bank[sunting]
Seiring
meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia
melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya
terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada
pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan
ekonomi dan moneter. Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan
biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan
bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang
No. 24 tahun 1951.
Sistem
Ekonomi Ali-Baba[sunting]
Sistem
ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian
kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah:
Untuk
memajukan pengusaha pribumi.
Agar
para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
Pertumbuhan
dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Memajukan
ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non
pribumi.
Ali
digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai
pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba,
pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung
jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki
jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu
bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat
berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha
pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Indonesia
menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
Pengusaha
pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Persaingan
Finansial Ekonomi (Finek)[sunting]
Pada
masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan
masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini
dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai
kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
Persetujuan
Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan
Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
Hubungan
Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya
pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah
secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan
pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan
diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956,
akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB.
Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan
pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT)[sunting]
Masa
kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih
berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan
terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program
yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa
kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini
merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri
perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun
(RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui
DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah
melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan
12,5 miliar rupiah.
RPLT
tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
Adanya
depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan
awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan
pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya
ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan
kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah
Nasional Pembangunan[sunting]
Masa
kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah
tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional
Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana
pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk
jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat
dilaksanakan dengan baik karena:
Adanya
kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
Terjadi
ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
Timbul
pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal
ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta
sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik
Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi
bersenjata.
Orde
Baru[sunting]
Selama
lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia
tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui
kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%,
rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran
berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada
pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas
ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan
dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor
non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan
banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama
yang berkembang.
Tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan
struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada
cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas
kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman
berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran
peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh
perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik,
dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis
finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat
berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia
terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk
mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan
memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International
Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang
diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi
yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli,
yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil
dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto
terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.
Pasca
Suharto[sunting]
Di
bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah
Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada
Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Pada
2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan
melebihin Rp 6300 Trilyun [8] meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB
tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi
yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar
didunia G20.
Ini
adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[9] oleh
IMF dalam juta rupiah.
Tahun PDB
1980 60,143.191
1985 112,969.792
1990 233,013.290
1995 502,249.558
2000 1,389,769.700
2005 2,678,664.096
2010 6,422,918.230
Kajian
Pengeluaran Publik[sunting]
Sejak
krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas
jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah
mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi
ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik.
Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara
belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat
ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam
situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan
makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang
sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami
transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang
menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah
beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya,
pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan
subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas
makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik
bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi
lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi
minyak.
Keputusan
tersebut memberikan US$10 miliar [1] tambahan untuk pengeluaran bagi program
pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar [2] telah
tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh
pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran
utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah
mempunyai US$15 miliar [3] ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan.
Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan
pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun
1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang
besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan
yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil
langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun
demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam
menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi
ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi
tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat
pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar
[4] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran
total.
Berkat
keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk
mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian
besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah
daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang
membelanjakan 37 persen [5] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat
desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan
tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini
tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki
pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal
tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk
mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator
sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi
berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan
publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu,
alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana
tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja
publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai
contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen [6] dari total
belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan
mengambil sekitar 3.9 persen [7] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan
hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001[8] - sebaliknya total belanja
kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB [9]. Sementara itu,
investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah
pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB [10]. Satu bidang lain
yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi
yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 [11],
menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
Referensi[sunting]
^
http://www.antaranews.com/en/news/85415/indonesias-economy-grows-617-pct-in-3rd-quarter
^
"Global Peace Index 2008 for Indonesia". Global Peace Index. Diakses
2009-03-25.[pranala nonaktif]
^
"Doing Business in Indonesia 2012". World Bank. Diakses 2011-11-21.
^ a
b "Federation of International Trade Associations : Indonesia
profile". Fita.org. Diakses 2011-08-29.
^
"Sovereigns rating list". Standard & Poor's. Diakses 26 May 2011.
^ a
b c Rogers, Simon; Sedghi, Ami (15 April 2011). "How Fitch, Moody's and
S&P rate each country's credit rating". The Guardian. Diakses 31 May
2011.
^
http://www.antaranews.com/en/news/85476/ris-forex-reserves-up-013-bln-in-october
^
http://www.antaranews.com/berita/1273491621/bps-pdb-2010-minimal-rp6300-triliun
^
Edit/Review Countries
Tidak ada komentar:
Posting Komentar